Saya masih ingat betul momen pertama kali melihat Simpang Lima Gumul. Mobil yang saya tumpangi melaju pelan, lalu tiba-tiba bangunan besar itu muncul di depan mata—kokoh, simetris, dan terasa kontras dengan suasana Kediri yang selama ini saya kenal sederhana dan tenang.
Ada rasa kagum, tapi juga sedikit bingung. “Ini Kediri, kan?” batin saya saat itu.
Simpang Lima Gumul berdiri di tengah persimpangan, seolah ingin dilihat, disapa, dan diingat. Ia tidak tersembunyi, tidak pula malu-malu. Bangunan ini seperti pernyataan: bahwa Kediri juga pernah—dan masih—ingin tampil besar.
Dibangun di Awal 2000-an, Saat Kediri Ingin Dikenal
Simpang Lima Gumul mulai dibangun pada tahun 2003 dan diresmikan pada tahun 2008. Saat itu, pemerintah daerah Kabupaten Kediri punya mimpi besar: menghadirkan ikon modern yang bisa menjadi wajah baru daerahnya.

Letaknya strategis, di Kecamatan Ngasem, tepat di pertemuan beberapa jalur utama. Sejak awal, bangunan ini memang tidak diniatkan sebagai tempat wisata alam atau situs sejarah kuno. Ia lahir sebagai simbol—penanda zaman, kebanggaan, sekaligus harapan.
Baca Juga : Solo Travelling ke Blitar, Menyusuri Jejak Sang Proklamator
Dan harus diakui, pada masa awal kemunculannya, Simpang Lima Gumul berhasil mencuri perhatian. Banyak orang datang khusus untuk melihatnya. Berfoto. Nongkrong. Bahkan sekadar lewat pun rasanya ada sensasi tersendiri.
Cerita Joyoboyo dan Bayangan Kejayaan Masa Lalu
Dalam obrolan warga dan cerita yang beredar, Simpang Lima Gumul kerap dikaitkan dengan Sri Aji Joyoboyo, raja legendaris Kerajaan Kediri. Meski tidak berdiri di atas situs bersejarah langsung, bangunan ini sering dimaknai sebagai simbol kebangkitan kejayaan Kediri di masa lalu.
Bagi saya, ini menarik. Simpang Lima Gumul seperti upaya menghadirkan sejarah—bukan lewat batu tua atau candi, tapi lewat beton, lengkungan besar, dan gaya arsitektur modern.
Ia bukan masa lalu yang dibekukan, melainkan masa lalu yang ditafsirkan ulang.
Lengkungan-Lengkungan yang Menyimpan Makna
Simpang Lima Gumul memiliki enam lengkungan besar yang menghadap ke berbagai arah. Banyak yang menafsirkan ini sebagai simbol keterbukaan, persimpangan, atau pertemuan banyak jalan—seolah Kediri ingin mengatakan bahwa ia siap dilalui, disinggahi, dan dikenali dari mana pun orang datang.

Di bagian bawah bangunan, ada ruang pertemuan dan area serbaguna. Dulu, tempat ini sempat ramai digunakan untuk berbagai kegiatan. Dari situ, saya menangkap satu hal: Simpang Lima Gumul tidak hanya ingin dilihat, tapi juga dihidupi.
Saat Saya Datang, Simpang Gumul Tidak Lagi Seramai Dulu

Meski sudah berulang kali melewati Simpang Lima Gumul, baru beberapa hari lalu saya benar-benar berhenti dan mengunjungi landmark kebanggaan Kediri ini.
Saya datang saat siang hari. Di mana matahari Kediri bersinar dengan cerah. Meski begitu, angin bertiup sepoi-sepoi. Jadi, suasana tak begitu terik.

Namun, suasananya begitu sunyi. Tidak banyak pengunjung. Tidak ada keramaian seperti yang sering saya lihat di foto-foto lama. Beberapa pedagang masih ada, tapi jumlahnya terbatas. Orang-orang datang sebentar, duduk, lalu pergi. Banyak yang hanya melintas tanpa benar-benar berhenti.
Simpang Lima Gumul hari ini memang mulai sepi pengunjung.
Dan anehnya, kesunyian itu justru membuat saya lebih lama tinggal.
Dari Ruang Berkumpul Menjadi Tempat Merenung
Dulu, Simpang Lima Gumul dikenal sebagai ruang publik. Tempat warga berkumpul, anak-anak bermain, pasangan muda menghabiskan sore. Sekarang, fungsinya terasa berubah. Ia lebih sering menjadi latar—bukan tujuan utama.
Tapi di situlah saya merasa Simpang Gumul menjadi sangat manusiawi. Tidak semua tempat harus selalu ramai. Ada tempat-tempat yang justru menyimpan cerita saat ia mulai ditinggalkan.
Saya duduk, memperhatikan kendaraan berlalu-lalang, dan berpikir: ikon kota pun bisa lelah.
Ikon yang Tetap Bertahan, Meski Tak Lagi Dipuja
Meski pengunjungnya berkurang, Simpang Lima Gumul tetap berdiri dengan tenang. Ia masih menjadi penanda wilayah, masih muncul di brosur, masih disebut sebagai ikon Kabupaten Kediri.
Baca Juga : Ruang Memorabilia Bung Karno: Perjalanan Menyusuri Artefak Sang Proklamator di Blitar
Mungkin sekarang ia tidak lagi menjadi pusat keramaian, tapi ia tetap menjadi penjaga ingatan—tentang masa ketika Kediri ingin dilihat, ingin dikenali, ingin bicara lantang tentang dirinya.
Membaca Kota Lewat Tempat yang Mulai Sepi
Sebagai traveler, saya sering belajar dari tempat-tempat yang ramai. Tapi dari Simpang Lima Gumul, saya belajar dari tempat yang mulai sepi.
Saya belajar bahwa kota, seperti manusia, punya fase. Ada masa ingin tampil gemerlap, ada masa ingin diam dan menunggu. Dan keduanya sama-sama sah.
Baca Juga : Jelajah Candi Singasari, Cagar Budaya Indonesia Peninggalan Terakhir Kerajaan Singasari
Simpang Lima Gumul mengajarkan saya untuk tidak buru-buru menilai sebuah tempat dari jumlah pengunjungnya. Kadang, justru di ruang yang lengang, kita bisa mendengar cerita yang lebih jujur.
Simpang Lima Gumul, Sebuah Persimpangan Cerita
Hari ini, Simpang Lima Gumul bukan lagi destinasi wajib seperti dulu. Tapi ia tetap penting. Ia adalah persimpangan—bukan hanya jalan, tapi juga harapan, sejarah, dan perubahan.
Dan bagi saya, berhenti di Simpang Lima Gumul bukan soal mencari hiburan. Ini tentang memahami Kediri dari sudut yang lebih sunyi. Lebih pelan. Lebih manusia.

